Minggu, 27 Juli 2008

setahun setelah gempa bumi 27 mei 2006


POSKO SAR DIY, Komplek Kepatihan

Rabo 21 Mei 2007, Jam 16.30 wib

Baru aja bongkar tenda komando sisa musibah angin puting beliung, ada dua buah tenda masih berdiri dan terbengkelai di sana. Sekitar biosko Mataram dan Kampung Kebonan sudah mulai normal lagi, tapi masih nampak sisa pecahan genteng dan kaca, lingkungan juga nampak lebih terang dan panas, karena pohon yang rindang sudah tumbang disapu angin, terjadi tiga minggu yang lalu, setelah seminggu sebelumnya terjadi hujan es batu sebesar kedelai di sekitar Stadion Mandala Krida hingga Jalan Taman Siswa,

inilah curhat ku:
Lagi-lagi tentang kesulitan potensi SAR saat situasi normal, hanya responsif semata saat terjadi musibah atau bencana,

Seorang Nande mengambil mobil pickup milik komandan di Kalasan dengan bensin yang begitu mepet, ditemani Kabul, Lopex dan Wawan.........

Akhirnya 5 orang nggak jelas itu sudah cukup untuk sekedar merobohkan dan melipat tenda komando sampai ke packing tali-tali, pathok, tenda, termasuk tiang-tiang yang lumayan banyak....
Bukan keluhan atau kecemburuan pada sebagian pengurus SAR yang sangat intens diskusi dan banyak omong tentang penanganan bencana saat terjadi musibahdi perangkat komunikasi, pembicaraan itu hampir hampir setiap saat, dari pagi hingga malam, sampai pag lagii.
Kadang pula terjadi keributan dan bersitegang dalam obrolan di udara, namun saat dibutuhkan tenaga untuk membongkar dan mengembalikan tenda ke logistik SARDA, satu pun nggak ada yang muncul, namun itu tidak menjadi masalah yang urgent, dengan personil yang ada pun bisa diselesaikan, tanpa harus adad koordinasi dan perdebatan panjang di frekuensi.
Kenapa selalu begini? ................sebenarnya kan nggak perlu terjadi seperti ini,
Oleh karena itu harus segera dibentuk SOP (Standart Operating Procedure) dalam operasi pencarian mauun pertolongan, baik dalam musibah besar atau kecil, demi lancarnya pelaksanaan tugas dari sebuah organisasi yang berlabel ’kemanusiaan’.
Sedangkan petunjuk pelaksanaan (juklak), bahkan sudah ditetapkan dalam bentuk SK Gubernur, tapi sayangnya masih merupakan lembar-lembar kertas dengan kalimat-kalimat normatif dan tidak implementatif.

SK Gubernur tersebut pernah diuji coba dalam pertemuan dengan LIPI Pusat dalam sosialisasi pembentukan SOP penanganan bencana alam, baik sebelum, pada saat dan sesudah kejadian. Sayangnya konsep yang dibawa LIPI masih mengacu pada konsep lama kebencanaan, studi kasusnya pun masih diambil dari lokal daerah Padang, sehingga sedikit menyinggung perasaan pemegang kekuasaan di Jogja. Hal ini disebabkan karena bukankah Jogja juga pernah mengalami bencana gempa bumi besar yang terjadi di kawasan Bantul, sebagian Sleman dan Kotamadya Jogja sendiri, tapi kenapa yang dijadikan percontohan adalah SOP nya Kota Padang, sedangkan masing-masing daerah mempunyai karakter masayarakat sendiri, dengan jenis bencana yang beragam pula, oleh karena itu UU Bencana Alam harus diterjemahkan ke dalam PERDA sesui dengan situasi dan kondisi masing-masing daerah.

Tidak ada komentar: